Aku Kehilanganmu

Juman Samani Serdang

Meninggal pada tahun 2003

Tahun 2000 aku masuk kuliah menempuh program studi S 1 Bahasa Indonesia di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten. Mengapa baru tahun 2000 aku masuk kuliah di Untirta? Karena aku menunggu Untirta definitive di-negeri-kan, yang sebelumnya Untirta adalah perguruan tinggi berstatus Yayasan.

Di kecamatanku waktu itu hanya aku satu-satunya di tahun itu yang berminat melanjutkan S 1. Guru-guru yang lain nyaris apriori kepada yang namanya kuliah S 1. Namun hal ini dapat dipahami, karena bagi mereka waktu itu yang namanya kuliah tidak ada faedahnya (pandangan yang keliru sekali). Berbeda dengan tahun 2005, tuntutan para guru untuk memiliki kualifikasi S 1 sudah jelas karena adanya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menuntut guru harus berkualifikasi S 1.

Bagi saya sendiri, masuk kuliah S 1 waktu itu, bukan karena treatment yang menjanjikan apa pun kecuali karena di benakku selalu ingat dan sadar bahwa guru harus “long life education”. Didorong pula oleh informasi yang aku baca di media bahwa pemberlakuan kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) tahun 2004, sedikitnya di setiap sekolah terdapat guru yang berkualifikasi sarjana (strata S1). Sementara saat informasi itu aku baca, guru yang berkualifikasi S 1 di SD masih bisa dihitung dengan jari. Di kecamatanku saja waktu itu baru ada 5 orang yang sudah S 1 lulusan tahun 1998. Alhamdulillah aku lulus tahun 2003.

Sudah menjadi program perguruan tinggi, seperti biasanya mahasiswa yang akan menyusun skripsi terlebih dahulu harus melaksanakan KKN. KKN diadakan di Kelurahan Gelam Kecamatan Cipocok Jaya Kabupaten Serang Provinsi Banten. Singkat cerita, peserta KKN dilepas oleh Rektor Untirta. Kami sekelompok kebagian di kelurahan tersebut di atas, langsung berangkat ke lokasi. Di lokasi KKN kami diterima oleh Lurah Gelam Pak Fauzi yang kebetulan beliau juga peserta KKN kelompok kami.

Hari pertama kegiatan KKN (pelepasan), aku disamper oleh teman sekelompokku M. Yahya. Karena sebelumnya sudah ada janji untuk menjemputku berangkat bersama. Beliau tahu bahwa aku saat itu tidak punya motor, karena motor yang aku punya aku gadaikan kepada kakaku untuk melunasi tunggakan SPP yang mencapai 4 juta lebih.

Sebenarnya walaupun aku tidak dijemput oleh temanku, aku bisa pergi sendiri dengan membawa motor kakaku yang digade dariku. Kakaku Juman, pada jam 05.30 datang ke rumahku (rumahku berarti rumah orang tuaku, karena aku masih bujangan), untuk menawarkan motor untuk dipakai olehku. Waktu itu dia menawarkan motor tapi motornya tidak dibawa. Jadi aku harus mengambilnya di rumahnya yang jaraknya lebih kurang 200 meter dari rumah kami. “Joh, ambil saja motor kalau mau pake motor mah, aku hari ini tidak akan masuk sekolah” begitu kata-kata terakhir kakaku Juman kepadaku.

Kakaku Juman adalah seorang guru SD di SDN Cisangku. Aku sudah menduga, kalau kakaku hari itu tidak akan masuk sekolah. Karena aku sudah begitu tahu ciri-ciri dia apabila datang anfal (asmanya kumat). Kumat seperti itu sudah biasa, bahkan lebih berat dari itu juga sudah sering terjadi. Biasanya dengan sekali crot obat aluven, langsung sembuh. Makanya aku pun tidak begitu mengkhawatirkannya, dan tetap berangkat ke acara pelepasan dan sekaligus penerimaan peserta KKN di tempatnya masing-masing. Aku menolak tawaran kakaku membawa motornya, aku tetap ikut M. Yahya.

Beres pelepasan oleh rektor, kami langsung menuju ke lokasi KKN masing-masing. Di tempatku, penerimaan peserta KKN disambut dengan baik penuh kekeluargaan oleh seluruh jajaran kelurahan Gelam. Sebelum waktu duhur acara penerimaan peserta KKN selesai. Tidak semua peserta sudah siap dengan segala perlengkapannya untuk menginap selama 1 bulan. Hanya peserta yang dari jauh saja yang nampaknya sudah siap. Bagi peserta yang rumahnya dekat, belum siap termasuk aku. Jadi, pada jam 15.00 aku pulang dulu ke rumah untuk mengambil semua perlengkapan yang dibutuhkan, terutama pakaian.

Sungguh di luar dugaan, baru saja aku tiba di rumah, sepatu dan kaos kaki pun belum aku lepas, karena aku langsung duduk di kursi depan rumahku, datang teteh/kakak iparku dibonceng motor oleh keponakanku Sanita. Motor tidak sempat distandar, Sanita lunglai menjatuhkan motor dan kakak ipar langsung menangis sambil berkata, “Kakakmu tuh di rumah sakit udah meninggal !” Terkejut tidak kepalang tanggung, karena aku sedikit pun tidak mengira bahwa dia akan secepat itu meninggalkan kami. Pantas saja, ketika aku datang, rumah ini sepi sekali tak ada seorang pun. Aku sempat mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un ketika di tempat duduk.

Tanpa sadar, rasa sayang dan berat kehilangan dia, dan lebih-lebih rasa kasihan ketika aku bayangkan saat-saat dia merasakan begitu tersiksanya sesaknya bernapas, menghilangkan kesadaranku akan hukum agama. Walau pun aku tahu bahwa orang yang meninggal tidak boleh ditangisi, aku tetap menangis sekeras-kerasnya sambil tersungkur-sungkur di amben (tempat semacam dipan terbuat dari bambo).

Ya Allah, terimalah dia di sisiMu dengan kasih sayangmu. Ampunilah segala dosa dan kesalahannya. Hanya itu yang dapat aku ucapkan dalam hati ketika aku sadar dari tangisku.

(ini kisah nyata, kutulis ketika aku teringat dia 9 tahun yang lalu).

Tinggalkan komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar, Mohon jangan Spam. Spam dan cantuman link akan saya hapus !